BULLYING DI SEKOLAH

Adinda Zahra Sofiantima, biasa dipanggil Dinda, lahir di Banjar 4 April 2008. Saat ini tercatat sebagai siswa SMAN 1 Banjar serta memilih “English Club dan Jurnalistik” sebagai kegiatan ekskul-nya. Saat masih di Sekolah Dasar dan di SMP pernah meraih beberapa prestasi,, antara lain: Juara Harapan Islamic Story Telling Tingkat Kota Banjar (2017), Nominator Anugerah Literasi Siswa Tingkat Sekolah Dasar (2017), Juara Pertama (TIM) Musikalisasi Puisi Ramadan (2018), Duta Baca Anak Kota Banjar mewakili ke Tingkat Provinsi Jawa Barat (2018), Juara Kedua Lomba Baca Puisi Ramadan (2019), Juara Pertama Pasanggiri Sajak Sunda Tingkat Kota Banjar (2019). Pada 2022 mendapatkan kesempatan untuk membacakan puisi di depan Gubernur Jawa Barat dalam rangkaian sidang terbuka DPRD Kota Banjar. Pada 2025 terpilih sebagai Delegasi International Future Leader (IFL) di Malaysia dan Singapore.


Di saat sedang membereskan perlengkapan untuk sekolah, Adyn mendapat sebuah notif dari ponselnya. Notif itu berdering berkali-kali membuat Adyn bergegas memeriksa ponselnya. Setelah dilihat ternyata itu notif dari akun sosial medianya. Banyak yang mention akun instagramnya. “Tumben sekali akun Instagramku ramai,” ucap Adyn dalam hatinya. Karena takut kesiangan, ia pun bergegas untuk berangkat ke sekolah.

Sesampainya di depan gerbang, Adyn heran karena semua mata tertuju kepadanya, melihatnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. “Apa ada yang salah dari penampilanku?” pikirnya. Tidak ambil pusing, ia langsung menuju ke kelasnya yang berada di paling pojok. Adyn menjadi semakin heran karena seluruh isi kelas menatapnya dengan sinis sambil berbisik-bisik. “Woy tukang nipu, tukang bully ngapain ada di sini,” ucap salah satu teman kelasnya sembari melempar botol plastik kosong ke arah Adyn. Jelas Adyn terkejut ditambah bingung dengan semua ini. Kemudian Adel, teman sebangku Adyn mendekatinya. “Coba buka Instagram sekarang juga, apakah yang ada di postingan itu beneran kamu? Aku ga nyangka, Dyn,” Adel memberitaunya.

Adyn membuka akun Instagram pribadinya dan benar saja notif yang dari tadi terus berbunyi berasal dari sebuah postingan yang memention akun Instagram Adyn, pantas saja banyak notif masuk. Begitu terkejutnya Adyn Ketika melihat sebuah postingan yang bilang bahwa Adyn adalah seorang pembully di sekolahnya yang dulu dan Adyn dituduh menjadi seorang admin dari akun yang menjelek-jelekan sekolah ini (haters).

Di postingan tersebut nama Adyn terus dihina, dijelekan, digunjing karena tuduhan tersebut. Sialnya postingan itu viral sehingga satu sekolah tahu tentang rumor ini. Adyn merasa bingung dengan apa yang terjadi saat ini, ia langsung putar balik keluar kelasnya dan lari pergi meninggalkan sekolah.

Sebenarnya apa yang terjadi? Jadi, Adyn merupakan seorang murid pindahan dari sekolah lain, pindah karena ia dibully di sekolah lamanya. Namun anehnya mengapa rumor tersebut berbanding terbalik dengan realitanya. Kenapa malah Adyn yang dirumorkan menjadi seorang pembully? Padahal Adyn adalah korban. Lalu ditambah tuduhan menjadi admin dari akun haters sekolah, padahal Adyn benar-benar tidak tahu apa-apa. Semuanya terasa janggal. Bukankah ini termasuk pencemaran nama baik?

Karena Adyn tidak tinggal bersama orang tuanya, jadi Adyn ingin menyelesaikan masalah ini sendiri. Ia pergi ke sekolahnya yang dulu untuk menemui guru BK dan meminta keterangannya yang dulu sebagai korban bully. Ia dibantu guru BK untuk menyelesaikan masalah ini. Adyn tahu yang menyebarkan rumor palsu ini adalah Anisa, orang yang membully dia selama di sekolah lama. Anisa dendam kepada Adyn makanya ia membuat postingan tersebut agar nama Adyn tercemar.

Pencemaran nama baik mungkin terdengar asing dan sepele bagi beberapa orang, namun saat ini sudah banyak kasus yang melibatkan nama baik seseorang terutama di media sosial. Padahal hal tersebut sudah jelas aturan dan hukumannya di ranah hukum, seperti dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Ancaman pidana terhadap pelaku pencemaran nama baik di dalam undang-undang ini lebih berat dibanding KUHP. Dalam UU ITE, pelaku pencemaran nama baik dapat dipidana penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Jika pencemaran yang dilakukan mengakibatkan kerugian bagi orang lain maka hukuman yang dijatuhkan lebih berat, yakni pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp 12 miliar.

Regulasi seperti itu semestinya menjadi pemahaman para pelajar agar lebih berhati-hati dalam bersikap dan berperilaku, terutama di sekolah sebagai lingkungan belajar sehingga tercipta suasana lingkungan belajar yang kondusif dan nyaman. Kita berharap semoga dengan adanya Forum Pelajar Sadar Hukum dan Hak Asasi Manusia atau lebih dikenal dengan FPSH HAM dapat mendorong para pelajar agar melek aturan hukum sekaligus juga menjadi garda depan, FPSH HAM dapat memberikan teladan dalam mentaati aturan hukum sehingga tercipta ketertiban dan kenyamanan dalam proses pembelajaran.***

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top